Part 1: Kita ini Da’i, bukan Qadhi (Perspektif Seorang Muslim terhadap LGBT)

“Bahwa perbedaan pendapat itu niscaya”

Tulisan ini murni pendapat pribadi. Bukan teori, bukan juga fatwa; pasti ada celah dan salah. Tapi belakangan ini semakin sering saya melihat postingan di Facebook ataupun status Official Account di Line khususnya perihal LGBT; maka sebagai bagian dari demokrasi, saya merasa punya hak untuk angkat bicara.

Saya memiliki pengalaman pendidikan Islam 6 tahun di sekolah asrama (3 tahun di pesantren NFBS dan 3 tahun di MAN Insan Cendekia). Alhamdulillah, sekarang saya melanjutkan pendidikan sarjana di Ritsumeikan University, Jepang. Di kampus ini, saya dimasukkan di dalam kelas pembahasan kesetaraan gender yang diajar oleh seorang pakar feminisme dan gerakan seksualitas dari Kanada. Berbekal kedua latar belakang pendidikan saya (Islam dan Liberal) ini saya mencoba untuk bisa membuat tulisan yang seimbang.

Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya ingin membatasi diskusi dalam tulisan ini agar tidak ada sengketa pendapat yang tak berujung. Tulisan ini saya landasi dengan 3 premis yang saya minta saudara-saudara muslim sekalian fahami: (1) Bahwa tidak ada satupun ayat dalam AL-QURAN yang membenarkan perilaku LGBT, (2) Bahwa tidak ada satupun HADIS yang membenarkan perilaku LGBT, (3) Bahwa tidak ada IJMA ULAMA manapun yang membenarkan perilaku LGBT

Saya yakin teman-teman muslim sudah mengetahui hal di atas. Bilamana ada di antara poin di atas yang saudara sudah tidak setuju, maka mungkin tulisan di bawah ini akan sulit untuk diterima. Sebaliknya, jika 3 poin itu saudara setujui, saya akan ajak anda untuk melanjutkan membaca tulisan ini.

–––

Saudara-saudara yang sekarang meng-follow beberapa Official Account di LINE yang membahas Islam pasti tidak jarang melihat di Timeline belakangan ini tulisan-tulisan penolakan terhadap LGBT, dari penggunaan kata “tolak”, “bubarkan” hingga “bunuh dan bakar”. Belakangan ini di dunia socmed Indonesia semakin terlihat jelas dikotomi masyarakat kita terhadap isu LGBT; ada sisi ekstrim yang mati-matian berjuang melegalkan pernikahan sesama jenis dan sisi ekstrim lain yang hobi “menghewankan” dan “mengkafirkan” kaum LGBT.

Di hadapkan pada dua sisi ekstrim ini kita pun menjadi bingung; “lantas sikap apa yang harusnya kita ambil?”. Sebagai muslim, jawabannya jelas: sebaik-baik manusia adalah Rasulullah SAW, maka mari kita telaah bagaimana sikap yang dicontohkan beliau. Fase dakwah beliau secara garis beras dibagi menjadi dua: fase MEKKAH dan MADINAH –keduanya memiliki cara pendekatan yang berbeda. Di Mekkah, Rasul berhadapan dengan Kaum Jahiliyah, yang tidak tahu apa-apa tentang Islam. Namun, Rasul menghadapi mereka dengan kesabaran dan keikhlasan. Andai Rasulullah menghadapi kekasaran kaumnya dengan juga berdakwah secara kasar, mungkin dakwahnya tidak akan pernah berkembang; kekerasan di lawan dengan kekarasan, hasilnya akan kontraproduktif.

Namun lain halnya saat di Madinah. Saat itu Negara Islam telah berdiri dan orang-orang di sekitar rasul sudah menjadi muslim; akhlak mereka telah Rasul paripurnakan, dan kecintaan mereka pada Rabb-nya telah Rasul tumbuh kembangkan.

Bagi mereka segala perintah Allah itu harga mati, tiada tawar menawar. Maka menghadapi umat muslim yang sudah terbentuk akhlaknya ini Rasul pun tak segan untuk tegas dalam beragama; Rasul pun tak sungkan menyampaikan peringatan seperti “andai saja Tuhanku membolehkan, aku akan bakar rumah orang yang tidak solat berjamaah ke masjid” untuk membentuk kedisiplinan umatnya.

Ucapan Rasul inipun tidak dimaknai para sahabat sebagai bentuk kekejaman atau “berserk mode” nya Rasul untuk menteror umatnya, namun bahwa dalam beragama itu ya harus serius, harus kaffah; bukan tentang status di KTP atau tradisi ber-THR ria saat lebaran.

Itupun juga, menurut saya, alasan mengapa kita bisa melihat perbedaan surat-surat Makkiyah (seperti Al Ikhlas) dan Madaniyyah (seperti Al Baqarah). Saat di Mekkah, wahyu yang diterima rasul tidak jauh dari satu pembahasan: tauhid. Bahwa selama 13 tahun di Mekkah, apa yang Rasul dengan gigih tanamkan adalah keyakinan yang benar tentang keesan Allah dan kenabian dirinya; tidak lebih melebar dari itu. Barulah saat masuk fase Madinah, di saat muslim telah teguh dan kokoh imannya, mulailah bermunculan ayat-ayat berisi hukum-hukum Islam yang “konstitutif” seperti ekonomi, muamalah, qisas, dan pelaksanaan hudud lainnya.

–––

Dari perjalanan Rasul ini kita bisa mengambil hikmah. Bahwa saat dihadapkan dengan kaum yang belum sempurna keislamannya, Rasul tidak mencontohkan dakwah agresif-koersif; Rasul faham bahwa jika dakwahnhya ia mulai dengan mengkafir-kafirkan bahkan menghewan-hewankan kaumnya, tapak dakwahnya takkan bisa berhasil.

Tapi kita muslim tidak akan pernah bisa sesempurna Rasul. Karakter tiap muslim itu sungguh dinamis. Bahkan manusia semulia para Khulafaur Rasyidin pun juga tidak bisa menyamai sang nabi; namun mereka saling melengkapi –di sisi Abu Bakar yang lembut ada Umar yang tegas. Maka sejatinya jika niatan dai lembut seperti Ust. Arifin Ilham maupun dai tegas seperti Habib Rizieq itu mulia dan ikhlas karena Allah, maka perlulah keduanya kita dukung –selama tidak melampaui batas. Baik, kita akui saja bahwa perlakukan dai keras semacam Habib Rizieq tidak jarang terlewat batas dan melangkahi hukum negara –ini patut kita koreksi. Tapi di sisi lain, khususnya perihal isu LGBT, saya lebih respect terhadap penolakan beliau yang teguh pada keislamannya daripada sekelompok muslim yang tidak berprinsip dan malah berjibaku ria untuk melegalkan pernikahan sejenis, walau dari sisi manapun agamanya tidak pernah membolehkan itu.

Dan dalam beragama, tegas itu perlu; ada kalanya muncul kewajiban bagi tiap muslim untuk menyisingkan lengan baju dan tegap membela din ini. Kadang kita terlalu pengecut dalam menyatakan kebenaran: yang ini “kayaknya” boleh, kalau yang ini sih…hmm… jika dipoles sesuai perkembangan zaman sih “sepertinya” gak papa.

Padahal telah jelas bagi kita mana yang Halal dan mana yang Haram. Tak boleh kita lupakan bahwa: MENJADI MUSLIM KAFFAH ITU HARUS BERANI AMBIL RESIKO UNTUK TIDAK POPULER. Jangan pernah terjangkit penyakit “gak enakan”; karena bahkan Abu Talib yang selalu melindungi rasul dan nyaris masuk Islam pun, meninggal tidak dalam keadaan beriman hanya karena “ga enakan” dengan kabilahnya.

–––

Tapi saya sekarang miris; batas-batas antara “tegas” dan “beringas” sekarang menjadi sangat bias. Saya teringat pada sebuah quote, “Tegas itu sikap, bukan volume suara”; Tegas itu teguh meyakini haramnya tindak LGBT namun gigih membantu LGBT untuk bertaubat, bukannya share-share status gak jelas yang hanya menyebar kebencian. Tegas itu tersenyum seratya berucap “tiada kata terlambat untuk bertaubat”, bukan malah membully dan menyauti “ahli neraka lu!”, “sampah masyarakat lu!”

Dan sebenarnya yang membuat saya paling risih itu adalah para campaigner LGBT, bukan si pelaku LGBT itu sendiri. Saya sendiri memiliki beberapa teman LGBT. Tidak sedikit dari mereka yang sadar bahwa perbuatannya salah dan mereka pun punya tekad untuk berubah. Namun di tengah usahanya tersebut, justru terdapat campaigner LGBT yang kembali mebenarkan perilaku itu dan merusak usaha mereka untuk berubah. Pihak ini aksi-aksinya bukan main; modusnya bukan hanya advokasi tapi juga indoktrinasi. Maka adalah tugas kita untuk mebendung indoktrinasi LGBT ini tanpa melepas para pelaku LGBT dari usaha pembinaan menuju kebaikan.

–––

Islam itu permata yang indah. Tapi jika ia kita hadiahkan dengan cara dilempar, seindah apapun rupanya pasti terasa menyakitkan. Dan telah jelas pula apa yang dicontohkan Rasul dalam kisah dakwahnya di atas; adalah budi dan kasih, bukan cacian perih, yang bisa membuat qalbu suci dan jernih. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak saudara-saudara LGBT kita yang jadi sasaran bentak, gebuk dan kekerasan lainnya di negeri ini. Selama itu masih terjadi, selama itu juga ada kewajiban kita untuk melindungi dan megawal mereka seraya terus menamamkan niatan-niatan baik pada mereka untuk berubah.

That a person, is a person; race, gender, religion and the myriad categorization that we created can never be a reason to dehumanize a person.

Maka di akhir tulisan ini saya teringat terhadap sebuah ceramah yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Sosial RI 2009-2014 Pak Salim Segaf Al-Jufri. Dalam ceramanya, Ia menuturkan:

“nahnu du’atun la qudhatun”

“KITA INI DAI, BUKAN QADHI”

Hakikat pendakwah adalah mengajak, bukan menghakimi. Tugas kita mengayomi, bukan menyakiti.

 

#perspektif#muslim#Lesbian#Gay#Bisexual#Transgender#LGBT#Indonesia

 

One thought on “Part 1: Kita ini Da’i, bukan Qadhi (Perspektif Seorang Muslim terhadap LGBT)

  1. Although I don’t quietly believe in the same way as you do, I can totally say I 100% agree with this! Just because we don’t share the same value, doesn’t mean we can’t live peacefully 🙂

Leave a comment